Pentingnya Evolusi Lumut dan Paku

Lumut dan Paku sebagai Vegetasi Perintis dalam Kolonisasi Daratan





Apa yang ada dalam pikiran Anda saat mendengar kata “lumut”?

Pasti yang Anda pikirkan adalah tumbuhan sederhana berwarna hijau dan biasanya berada di tempat yang lembap dan terkadang menjijikkan. Namun, pernahkah Anda bertanya-tanya mengapa lumut hidup di tempat lembap?

Jawabannya terdapat dalam proses evolusi tumbuhan itu sendiri. Seperti yang kita ketahui, bahwa nenek moyang tumbuhan pada awalnya berada di perairan, yaitu terdapat pada Kingdom Protista, Alga.

Secara umum, pengertian alga adalah protista yang bersifat fotoautotrof yang dapat membuat makanannya sendiri dengan cara fotositensis. Alga memiliki kloroplas dengan mengandung klorofil atau plastida yang berisi pigmen fotosintetik lainnya. Alga dapat dengan mudah ditemukan di air tawar maupun air laut. Ada yang hidup dengan menempel di suatu tempat atau melayang-layang di air. Alga juga bereproduksi seksual dengan fertilisasi eksternal, yaitu fertilisasi yang terjadi di luar tubuh induk. Maka dari itu, gamet pada alga memiliki flagel yang membuatnya dapat berenang.

Lambat laun, karena di perairan telah kurang ideal karena banyak kompetitor, beberapa individu alga mulai merambah ke daratan. Mengapa daratan? Karena di daratan masih sedikit predator dan kompetitornya, juga karena di daratan cahaya matahari dapat dengan mudah didapatkan. Semua terjadi secara bertahap, di antara vegetasi perairan dan daratan, terdapat fase peralihan, lumut dan paku mengambil peran di dalamnya.



Lumut dan paku juga mengalami pergiliran generasi yang disebut sebagai metagenesis dan juga mereka mulai mengalami fertilisasi internal, yaitu peleburan gamet yang terjadi di dalam tubuh induk. Dalam metagenesis terdapat dua fase, yaitu fase gametofit (gamet : sel kelamin dan fito : tumbuhan), yang berarti tumbuhan penghasil sel kelamin yang bersifat haploid (n), dan sporofit (spora dan fito : tumbuhan) yaitu tumbuhan penghasil spora yang bersifat diploid (2n).





Pada lumut, fase yang lebih dominan adalah fase gametofit, yang bersifat haploid (n), yang hanya memiliki satu set kromosom. Lumut juga berevolusi lebih dahulu dibanding paku, maka banyak pula tantangan yang dihadapinya, yaitu mutasi yang berlebih dikarenakan radiasi UV matahari dan kekurangan air (penguapan berlebih).

Untuk menghadapi masalah tersebut, maka dalam evolusi selanjutnya, yaitu tumbuhan paku, terdapat “modifikasi” yang dapat membantunya sintas.

Maka dalam tumbuhan paku, fase yang dominan adalah fase sporofit yang bersifat diploid (2n) dan mereka mulai memiliki akar serabut, pembuluh angkut, dan struktur daun yang dilapisi oleh kutikula.





Mengapa demikian? Karena dengan memiliki 2 set kromosom, mereka dapat menghindari efek mutasi yang berlebih. Jika salah satu terkena mutasi, masih ada “cadangan” lainnya yang masih mengodekan protein yang sama seperti sebelumnya (sebelum mutasi). Akar serabut juga dibutuhkan untuk menyerap air dari dalam tanah dan dialirkan melalui xylem ke seluruh tubuh tanaman. Tidak kalah pentingnya adalah kehadiran kutikula, yaitu lapisan lilin yang diproduksi oleh sel epidermis yang berperan dalam mencegah penguapan berlebih. Oleh karena itu, evolusi yang terjadi pada lumut dan paku sangat penting bagi kesintasan keturunan mereka yang merupakan tumbuhan modern yang berdiri tegak, memiliki pembuluh angkut, akar sejati, dan yang terpenting adalah mereka semua dominan dalam fase diploid (2n). Meski fase haploid (n) masih terjadi, namun biasanya hal itu sudah tereduksi.
Hal ini menjadi indikasi bahwa evolusi selalu berjalan ke arah yang lebih baik bagi kemungkinan kesintasan suatu spesies.

Comments

Popular posts from this blog

Sefalisasi

Sejarah Hewan